Selasa, 31 Maret 2015
Tugas TOU2 minggu ke 1
DAMPAK KENAIKAN BBM BAGI KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
Disusun oleh:
1. ADITHYA VARIAN
2. AWAL PUTRO ARYANTO
3. DARMAWAN BUDI PRASETYO
TEORI ORGANISASI UMUM 2
FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN INFORMASI
UNIVERSITAS GUNADARMA
A. JUDUL
DAMPAK KEBIJAKAN KENAIKAN BBM BAGI KEHIDUPAN BERMASYARAKAT
B. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak bumi, akan tetapi lumbung minyak di tanah air ini banyak dikelola oleh perusahaan asing. Pertamina sebagai jargon BUMN dalam pengelolaan minyak bumi hanya sebagai pajangan dan Pemerintah lebih bernafsu memberikan izin pengelolaan kepada perusahaan asing. Kondisi ini jelas berseberangan dengan konsep welfarestate (negara kesejahteraan). Jadi wajar penolakan di berbagai daerah bukti peringatan keberlangsungan Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II. Demontrasi dan kecaman menjelang kenaikan harga BBM wujud ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan yang tidak populis.
Dalam KBBI kata “anomali” berarti ketidaknormalan; penyimpangan dari normal; kelainan. Terkait kebijakan pemerintah menaikan harga BBM, melihat adanya ketidaknormalan dalam mengeluarkan kebijakan a quo. Apapun hasil voting DPR tadi malam, setidaknya ada empat ketidaknormalan seputar kebijakan yang tidak populis yang hanya berfikir instan tanpa melihat penderitaan yang akan dialami oleh masyarakat. Pertama, jika kenaikan harga minyak dunia menjadi alasan pemerintah tidak sanggup membayar subsidi BBM yang telah dicanangkan APBN merupakan suatu pemikiran sesat. Apabila harga BBM tidak dinaikan sebenarnya dana subsidi yang ada di APBN tidak akan jebol karena pendapatan negara dari sektor minyak dan gas (migas), seperti pajak penghasilan (PPh) migas dan penerimaan negara dari sumber daya alam (SDA) minyak bumi masih mencukupi. Ditambah dengan penerimaan lain seperti pajak perdagangan internasional sebesar Rp 4 triliun dan hasil penghematan anggaran kementerian/lembaga sebesar Rp 18 triliun dan penerimaan lainnya (kompas.com). Jika penerimaan negara benar-benar masuk ke kas negara tanpa “dibelokan” ke kas pejabat dan elit-elit politik, sudah lebih dari cukup untuk membiayai subsidi BBM sehingga kenaikan harga BBM tidak perlu terjadi.
Kedua kekeliruan penghitungan subsidi BBM. Berdasarkan kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) ditemukan ketidakwajaran dalam perhitungan subsidi BBM yang dilakukan pemerintah sebagai basic argument untuk menaikkan harga BBM. Berdasarkan harga patokan MOPS (Mean Oil Platt Singapore) yang didapat dari publikasi harga rerata tahun sebelumnya, jika harga BBM premium dan solar tidak naik (tetap Rp 4.500 per liter), total beban subsidi BBM dan LPG adalah sebesar Rp 148,034. Akan tetapi penghitungan pemerintah cenderung naik sehingga ada alasan untuk menaikkan harga BMM yaitu beban subsidi BBM dan LPG mencapai Rp 178 triliun. Artinya ada selisih Rp 30 triliun dari asumsi pemerintah. Begitu juga jika BBM premium dan solar dinaikkan menjadi Rp 6.000 per liter, total subsidi pemerintah hanya sebesar Rp 68,104 triliun. Sementara pemerintah mengatakan (RAPBN Perubahan 2012) beban subsidi menjadi Rp 111,74 triliun. Menjadi tanda tanya bagi masyarakat adalah dengan parameter asumsi dan metode yang sama kenapa hasil perhitungannya berbeda? Mungkin ada udang dibalik batu terkait ketidakwajaran kebijakan menaikkan harga BBM.
Ketiga kenaikan harga BBM justru semakin mensengsarakan rakyat. Belajar dari kenaikan BBM tahun 2005 dan 2008 justru menimbulkan polemik dan kesengsaraan dalam masyarakat. Akan tetapi Menteri Perekonomian, Hatta Rajasa mengatakan hal yang kontaradiktif dengan kondisi yang dialami masyarakat bahwa harga kebutuhan pokok stabil bahkan beberapa bahan pokok mengalami penurunan terutama beras, gula naik sedikit begitu pula dengan minyak goreng dan harga-harga lainya masih dalam batas wajar (republika.co.id 28/3/2012). Aneh bin ajaib, pernyataan ini sungguh jauh dari normal dan hanya mementingkan kepentingan pejabat saja tanpa melihat rakyatn
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar